Tidak biasanya kota Jakarta sesepi ini. Jalanan yang biasanya padat, menjadi sepi pada malam itu. Entah kemana perginya orang-orang yang selalu pulang membawa kantung belanja ukuran besar, orang-orang yang selalu bergandengan tangan di depan orang yang bahkan tidak punya pasangan. Entahlah kemana mereka pergi. Berkutat dengan masa lalu, mungkin?
Jakarta malam itu sepi. Tapi tidak dengan sebuah acara festival musim panas yang diadakan duta besar Jepang di daerah Blok M. Kerlap-kerlip lampu mampu mengalahkan sunyinya Jakarta saat itu. Stand makanan khas Jepang tersebar di sepanjang jalan, yang kadang diselipi dengan makanan khas Jakarta, kerak telor. Di ujung jalan, panggung besar sudah disediakan untuk para penampil.
Di tengah ramainya pengunjung festival malam itu sepasang kekasih sedang berjalan berdampingan sambil melihat ke arah stand-stand makanan yang terlihat.
"Ramai sekali. Ternyata budaya asing lebih menarik ya di mata mereka." ungkap lelaki itu, sedikit agak kesal.
"Begitu pula dengan kita, kan? Kalau tidak, tidak mungkin kita berada di sini." Perempuan di sampingnya menjawab dengan sedikit tersenyum, sambil menikmati gulali yang ia pegang di tangan kanannya.
Lelaki itu turut membalasnya dengan senyum. "Iya. Kamu benar." Lalu digenggam tangan perempuan itu lebih erat.
Mereka saling memandang satu sama lain, dan saling berbalas senyum. Lalu tangan lelaki itu tanpa di sadari pasangannya perlahan naik ke atas. Semakin ke atas, dan menyobek beberapa permen gulali si perempuan. Senyum mereka hilang, diganti dengan suara mereka yang sedang tertawa. Keindahan malam itu, mereka lengkapi dengan canda tawa di antara mereka berdua.
"Hei lihat! Memancing ikan mas!" Perempuan itu langsung berlari ke arah permainan tersebut, yang bukan merupakan hal asing di festival musim panas ala Jepang.
Lelaki yang tadi berada di sampingnya menggelengkan kepala, melihat tingkah kekasihnya yang seperti anak kecil. Lalu ia menghampirinya, kadang menertawakan perempuan itu yang sedari tadi tidak juga berhasil menangkap satupun ikan mas tersebut.
"Nih kamu yang coba!" Perempuan itu menantang laki-laki itu yang hanya bisa menertawakannya.
"Baiklah. Siapa takut?" Jawaban lelaki itu disertai dengan berkelakar mengangkat lengan bajunya seperti akan melakukan panco.
Belum sempat lelaki itu mencoba, perhatiannya teralihkan saat melihat seorang anak kecil yang menunjuk ke atas langit. Ia dan perempuan itu pun ikut mendongak ke arah langit, seperti apa yang dilakukan oleh orng-orang di sekitarnya.
Bunga api.
Itulah yang terlihat. Mereka berdua berlari ke arah tempat yang lebih lapang untuk menyaksikan pertunjukan bunga api tersebut. Daerah festival tersebut tidak banyak terlihat gedung-gedung tinggi sehingga mereka bisa leluasa untuk menikmati indahnya bunga api tersebut.
"Kamu suka?" Tanya lelaki tersebut.
"Suka. Banget." Perempuan itu tersenyum, baik bibir maupun matanya.
Lalu laki-laki itu merangkul perempuan itu. Perempuan itu tidak menolaknya, justru ia datang sendiri ke arah datangnya rangkulan tersebut. Dan perlahan ia menyandarkan kepalanya di pundak lelaki itu. TIdak sampai pundak, hanya sebatas lengan karena perbedaan tinggi mereka. Lalu perempuan itu melingkarkan tangannya ke punggung lelaki itu dari belakang.
"Bunga api ini sungguh indah. Tetapi mereka tidak indah jika hanya sendiri, atau satu warna. Coba lihat, perpaduan dari berbagai warna yang dilatar belakangi langit malam, itu yang membuat mereka indah. Mereka menari seakan menghibur langit malam yang sedang termenung, langit malam yang sedang kelam. Mereka saling melengkapi."
Lelaki itu hanya mengangguk. Masih terkesima dengan tarian sang bunga api. Sesekali ia menengok kearah perempuan itu. Dan tengokan terakhir, ia mendapati air mata yang keluar dari mata indah perempuan itu.
***
Pertunjukan bunga api sudah selesai. Hari sudah berganti, orang-orang yang mendatangi festival itu juga sudah banyak yang kembali ke rumahnya. Tapi kedua manusia itu masih menikmati ramen, salah satu makanan khas Jepang di salah satu stand. Mengisi tenaga kembali setelah lelah berjalan kesana-kemari pada malam hari.
Lelaki itu tidak mengatakan apa yang ia lihat di pipi perempuan itu saat pertunjukan bunga api tadi.
Sedang sang perempuan, sambil menyeruput mie besar itu, melihat ke arah anak kecil yang mengenakan yukata, sebagaimana orang Jepang umumnya pada festival musim panas. Anak itu melihat kearah mereka, dan melambaikan tangan yang langsung dibalas oleh perempuan itu.
"Kamu mau itu?" Kata lelaki itu sambil menunjuk apa yang dikenakan anak kecil tadi
"Tidak juga. Hanya tertarik untuk melihatnya."
Lelaki itu meminum sedikit ocha hangat di sampingnya. "Kalau begitu, nanti akan kubelikan di toko baju ala Jepang di dekat sini. Ulang tahunmu sebentar lagi bukan?"
Mata perempuan itu melihat ke bawah. Mata indahnya terlihat seperti dikelilingi kebingungan, rasa bimbang. Lelaki itu masih menunggu jawabannya.
"Iya." jawab perempuan itu, masih tanpa mellihat ke arah lelaki itu. "Dan aku berharap itu bukan merupakan hadiah terakhirmu."
Lelaki itu terdiam. Mencoba mencermati apa maksud perkataan yang dilontarkan sang kekasih. Ia bertanya kepada perempuan itu apa maksud dia mengatakan hal seperti itu Perempuan itu tidak menjawab. Ia bertanya kembali, kali ini sedikit memaksa. Perempuan itu diam sejenak, dan mulai berbicara.
Di antara keramaian yang sudah reda, diantara dinginnya malam dan kelamnya langit malam, sebuah kata-kata perpisahan terucap dari mulut perempuan itu. Dia menceritakan semuanya dengan berlinang airmata, juga dengan intonasi yang gugup. Sementara itu si lelaki hanya diam mendengar perkataannya. Mata kosongnya terus menatap perempuan itu, tanpa hawa kehadiran.
Di perjalanan pulang, mereka sama sekali tidak berbicara. Ruang kosong di antara mereka hanya diisi dengan keheningan. Benar-benar hening. Hanya suara mesin mobil berjalan yang dapat terdengar. Hanya bunyi derik mobil penumpang yang rusak terdengar berkali-kali. Hanya suara perasaan mereka, yang butuh pertolongan.
Bagaimana bisa mereka bersama, tapi di saat yang sama, mereka tidak lagi bersama?
Tidak ada kata terima kasih ataupun perpisahan di depan rumah perempuan itu. Tidak ada tatapan sayang ataupun kecupan manis di kening mereka malam itu.
Lelaki itu tidak langsung pulang, ia berhenti di salah satu restoran fast food daerah Jakarta Selatan, mungkin untuk menghilangkan kepedihannya. Sambil menikmati satu whopper yang tidak lagi berasa, sebuah trackback tanpa sengaja terputar kembali di ingatannya. Mereka baru memasuki bulan ke empat, tapi harus berpisah karena salah satu orang tua mereka tidak menakdirkan mereka untuk bersama.
Mereka tidak sama, mereka berbeda. Tapi perbedaan lah yang membuat suatu hubungan menjadi menarik. Mereka saling melengkapi. Benar, mereka seperti bunga api. Warna mereka berbeda, tapi jika dilihat bersamaan, hal itu akan menjadi indah.
Hubungan yang singkat itu seperti bunga api. Indah, tapi hanya untuk sementara.
"Tidak juga. Hanya tertarik untuk melihatnya."
Lelaki itu meminum sedikit ocha hangat di sampingnya. "Kalau begitu, nanti akan kubelikan di toko baju ala Jepang di dekat sini. Ulang tahunmu sebentar lagi bukan?"
Mata perempuan itu melihat ke bawah. Mata indahnya terlihat seperti dikelilingi kebingungan, rasa bimbang. Lelaki itu masih menunggu jawabannya.
"Iya." jawab perempuan itu, masih tanpa mellihat ke arah lelaki itu. "Dan aku berharap itu bukan merupakan hadiah terakhirmu."
Lelaki itu terdiam. Mencoba mencermati apa maksud perkataan yang dilontarkan sang kekasih. Ia bertanya kepada perempuan itu apa maksud dia mengatakan hal seperti itu Perempuan itu tidak menjawab. Ia bertanya kembali, kali ini sedikit memaksa. Perempuan itu diam sejenak, dan mulai berbicara.
Di antara keramaian yang sudah reda, diantara dinginnya malam dan kelamnya langit malam, sebuah kata-kata perpisahan terucap dari mulut perempuan itu. Dia menceritakan semuanya dengan berlinang airmata, juga dengan intonasi yang gugup. Sementara itu si lelaki hanya diam mendengar perkataannya. Mata kosongnya terus menatap perempuan itu, tanpa hawa kehadiran.
Di perjalanan pulang, mereka sama sekali tidak berbicara. Ruang kosong di antara mereka hanya diisi dengan keheningan. Benar-benar hening. Hanya suara mesin mobil berjalan yang dapat terdengar. Hanya bunyi derik mobil penumpang yang rusak terdengar berkali-kali. Hanya suara perasaan mereka, yang butuh pertolongan.
Bagaimana bisa mereka bersama, tapi di saat yang sama, mereka tidak lagi bersama?
Tidak ada kata terima kasih ataupun perpisahan di depan rumah perempuan itu. Tidak ada tatapan sayang ataupun kecupan manis di kening mereka malam itu.
Lelaki itu tidak langsung pulang, ia berhenti di salah satu restoran fast food daerah Jakarta Selatan, mungkin untuk menghilangkan kepedihannya. Sambil menikmati satu whopper yang tidak lagi berasa, sebuah trackback tanpa sengaja terputar kembali di ingatannya. Mereka baru memasuki bulan ke empat, tapi harus berpisah karena salah satu orang tua mereka tidak menakdirkan mereka untuk bersama.
Mereka tidak sama, mereka berbeda. Tapi perbedaan lah yang membuat suatu hubungan menjadi menarik. Mereka saling melengkapi. Benar, mereka seperti bunga api. Warna mereka berbeda, tapi jika dilihat bersamaan, hal itu akan menjadi indah.
Hubungan yang singkat itu seperti bunga api. Indah, tapi hanya untuk sementara.